“To study,
to finish, and to publish.”
(Benjamin
Franklin, 1706-1790)
Tiga kata yang diungkapkan oleh
Benjamin Franklin di atas mempunyai unsur tanggung jawab seorang ilmuwan [salah
satunya Peneliti], jika menyadari dirinya menjadi bagian dalam proses
perkembangan ilmu pengetahuan. (1)
Setelah mempelajari [mengumpulkan
data/informasi] kemudian menyelesaikannya dalam suatu penelitian, ilmuwan
seharusnya mempublikasikan hal-hal yang ditemukan dalam penelitiannya itu baik
yang ditujukan kepada msyarakat ilmiah atau masyarakat awam pada umumnya.
Bagaimana suatu hasil/teori tersebut
dapat teruji kalau tidak dipublikasikan? Bagaimana
masyarakat awam akan tahu tentang kondisi iptek terkini kalau tidak ada
informasi mengenai hal tersebut?
Suatu hasil penelitian biasanya
ditulis dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah [KTI]. KTI ini ada yang dipublikasikan,
namun begitu ada pula yang belum dipublikasikan hanya dilaporkan kepada
penyadang dana misalnya.
Publikasi suatu KTI dapat dilakukan
melalui berbagai media, misalnya diseminasi di suatu kegiatan ilmiah [seperti
seminar, workshop, dll] maupun dalam suatu majalah ilmiah, baik telah
terakreditasi atau belum.
Jadi, suatu KTI tidak hanya dinilai
dari substansinya tetapi juga dari majalah ilmiah yang mewadahinya. KTI yang
dimuat di majalah ilmiah terakreditasi akan lebih bernilai dibandingkan apabila
dimuat di majalah ilmiah tidak terakreditasi.
Pemberian dan penetapan
akreditasi majalah ilmiah di Indonesia saat ini dilakukan oleh LIPI dan
Dikti. Berbagai syarat harus dipenuhi untuk menjadi suatu majalah
ilmiah terakreditasi, baik dari sisi substansi isi, penyunting/mitra
bestari, gaya penulisan, kelembagaan penerbit, keberkalaan sampai dengan
penampilan, tiras dan penamaan suatu majalah ilmiah.
Di samping majalah ilmiah/jurnal
terakreditasi dan tidak, ada juga jurnal internasional. Suatu KTI akan lebih
bernilai lagi apabila dimuat dalam jurnal internasional. Publikasi
internasional menjadi salah satu nilai jual atau prestige suatu
bangsa. Semakin pesat perkembangan iptek suatu negara menunjukkan peradaban
yang lebih dari negara tersebut. Hal ini dapat dilihat salah satunya melalui
KTI yang dimuat atau disitasi di jurnal internasional atau oleh masyarakat
ilmiah internasional.
Bagaimana menentukan suatu jurnal
itu dalam kelompok jurnal internasional? Kriteria suatu jurnal internasional
yang dikeluarkan oleh LIPI akan diluncurkan pada medio tahun ini.
Sedangkan
kriteria yang dikeluarkan oleh Dikti adalah menggunakan bahasa PBB [Inggris,
Perancis, Spanyol, Arab dan Cina]; naskah yang dterima cepat terbit [rapid
review]; ada keteraturan terbit; editorial boardnya dari dalam dan luar negeri;
peredarannya luas; menjadi acuan atau memiliki jumlah sitasi yang banyak;
tercantum dalam current content dan sejenisnya; substasi yang
berkualitas; menawarkan offprint/reprints; terbit teratur sesuai jadwal;
penerbitan tidak terkendala dana; artikel yang dominan adalah artikel
primer/hasil penelitian bukan hanya review; bukan jurnal yang mencerminkan
kelokalan; derajat kemutakhiran pustaka > 80%; tersedian indeks setiap
volume; adanya bank naskah dan mempertimbangkan impact factor. (2)
Jadi sebenarnya kriteria ini hampir
mirip dengan kriteria dalam akreditasi majalah ilmiah nasional namun hanya
berbeda di beberapa kriteria seperti bahasa, terindeks dan impact
factor.
Impact Factor [IF] adalah ukuran dari sitasi [citation] terhadap
jurnal-jurnal ilmu pengetahuan alam [science] dan ilmu pengetahuan
sosial [social science] dan seringkali digunakan sebagai ukuran terhadap
pentingnya suatu jurnal di bidangnya. IF diciptakan oleh Eugene Garfield
dari Institute of Scientific Information [ISI, kini bagian dari
Thomson Scientific] pada tahun 1960 dengan menghitung indeks sitasi dari
jurnal-jurnal yang diindeks oleh Thomson ISI dan dilaporkan setiap tahun dalam
JCR [Journal Citation Report]. (3)
Untuk memahami IF, kita harus
memahami apa yang dimaksud dengan citation, citation index, dan akhirnya
perhitungan IF.
Suatu citation atau bibliographic
citation adalah suatu rujukan kepada buku, artikel, halaman web, atau
produk-produk hasil penerbitan lainnya yang memberikan cukup rincian untuk
mengidentifikasi produk penerbitan itu secara unik.
Tulisan-tulisan atau ceramah yang
tidak diterbitkan seperti kertas kerja [working paper dan
komunikasi pribadi [personal communication] juga kadang-kadang
disitasi [cited]. Citation digunakan dalam
karya-karya ilmiah untuk memberikan kredit atau pengakuan dari adanya pengaruh
karya-karya sebelumnya, atau merujuk ke yang memiliki kewenangan keilmuan.
Citation memungkinkan pembaca menilai apa yang diujikan/disajikan dalam suatu KTI
sekarang dengan melihat karya-karya sebelumnya. Para penulis sering kali
terlibat langsung dalam pengujian/penyajian ini dan menerangkan mengapa mereka
sepaham atau bahkan tidak sepaham dengan pandangan-pandangan sebelumnya.
Idealnya sumber-sumber citation bersifat
primer [tangan pertama] dan mutakhir [recent]. Ada beberapa jenis citation seperti scientific
citation, legal citation, theological citation,
hukum paten, dan hukum hak cipta, tetapi kita akan membatasi bahasan pada scientific
citation saja.
Posisi citation yang
paling lazim adalah bibliografi atau daftar pustaka pada akhir artikel, tetapi
posisi citation dapat juga dalam body text (parenthetical
citation), pada bagian bawah halaman (footnotes), pada akhir dokumen
(endnotes), pada halaman atau seksi khusus yang diberi judul ‘Works
Cited,’ atau dalam halaman khusus yang diberi judul ‘Daftar Acuan/List of
Reference.’
Gaya penulisan (gaya
selingkung) citation yang umum dikenal diantaranya adalah:
- ·
APA (psikologi,
pendidikan, dan ilmu-ilmu sosial lainnya)
- ·
MLA (literatur,
seni, dan humaniora)
- ·
AMA
(kedokteran, kesehatan, dan ilmu-ilmu biologi)
- ·
Turabian (umum digunakan oleh mahasiswa untuk segala
macam subyek)
- ·
Chicago (umum digunakan dalam berbagai subyek di dunia
‘nyata’ seperti buku, majalah, surat kabar, dan penerbitan-penerbitan lain yang
bukan penerbitan ilmiah)
Citation
index adalah suatu indeks dari
sitasi-sitasi antara berbagai penerbitan, yang memungkinkan pengguna dengan
mudah mendapatkan dokumen lebih baru mana yang mensitasi dokumen lebih lama.
Berdasarkan sejarah, Citation index yang pertama adalah
untuk legal citation, seperti Shepard’s Citation yang dibuat pada
tahun 1873.
Pada tahun 1960, Eugene
Garfield dari Institute of Scientific Information (ISI) untuk
pertama kalinya memperkenalkan citation index yang dibuat
untuk karya-karya yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal akademis.
Citation
index untuk karya-karya ilmiah ini
dimulai dari bidang ilmu pengetahuan alam (science), yaitu Science
Citation Index (SCI), yang kemudian diperluas ke Social
Science Citation Index (SSCI) dan akhirnya Arts and Humanities
Citation Index (AHCI).
Citation Index pada awalnya dimaksudkan
untuk memudahkan penarikan informasi (information retrieval) namun
semakin lama semakin banyak digunakan untuk bibliometrics atau
studi yang melibatkan evaluasi hasil penelitian.
Data sitasi ini juga menjadi dasar
dari perhitungan Impact Factor suatu jurnal yang kini menjadi
alat ukur yang paling populer untuk mengevaluasi pengaruh (atau mutu) suatu
jurnal dalam bidangnya.
Apabila Citation pada
dasarnya adalah melihat artikel-artikel mana yang mengutip suatu artikel,
maka Citation Index pada dasarnya melihat jurnal-jurnal mana
yang mengutip suatu jurnal. Citation dilihat dari sudut
pandang artikel yang disitasi (cited article) sedangkan Citation
Index dilihat dari jurnal-jurnal yang mensitasi (citing jorunals).
Citation Service: Thomson
Scientific (3)
ISI yang kini menjadi bagian dari
Thomson Scientific adalah penyedia jasa sitasi yang paling utama (?). Citation
Indexes yang disiapan oleh Thomson Scientific dapat diakses melalui
situs http://www.isiwebofknowledge.com/
Thomson Scientific menganut
falsafah bahwa dalam suatu bidang ilmu pengetahuan maka dari sekitar 20% jurnal
terbaik sudah tercakup 80% penelitian-penelitian terpenting dalam bidang yang
bersangkutan. Dengan demikian hanya sedikit
jurnal yang dikutsertakan dalam SCI, SSCI, atau AHCI. Jurnal-jurmal yang
diikutsertakan dalam ketiga laporan Citation Indexes dari Thomson Scientific
dengan demikian mendapatkan citra sebagai salah jurnal-jurnal terbaik dalam
bidangnya.
Asumsi ini sebenarnya sangat bias
terhadap jurnal-jurnal yang terbit dalam Bahasa Inggris dan berasal dari
Negara-negara ‘tradisional’ penghasil jurnal ilmiah, yaitu Inggris, Amerika
Serikat, dan Belanda. Banyak hasil penelitian penting yang berasal dari luar
negara-negara tradisional di atas yang tidak diikutsertakan dalam Citation
Indexes yang disiapkan oleh Thomson Scientific sehingga tidak mendapatkan
pemaparan (exposure) yang selayaknya.
Scopus dan Google Scholar [Google
Cendekia dalam bahasa Indonesia]
Kekurangan-kekurangan Citation
Indexes dari Thomson Scientific ini yang mendorong Elsevier, suatu penerbit
jurnal ilmiah terbesar di dunia untuk menciptakan jasa pelayanan
bibliografisnya sendiri, yaitu Scopus.
Scopus pada dasarnya tidak
membatasi jurnal yang diikutsertakan untuk diindeks, namun sampai saat ini
Scopus hanya mengindeks jurnal-jurnal ilmu pengetahuan alam (science)
dan tidak mencakup social science ataupun arts and
humanities. [CMIIW].
Apabila Scopus adalah layanan
komersial sepeti halnya Thomson SCI, maka hanya berselang satu bulan dari
diluncurkannya Scopus pada tahun 2005, Google juga meluncurkan Google
Scholar yang tidak membatasi hanya science, tetapi semua
karya ilmiah yang tersedia secara online.
Apabila Thomson Scientific dan Scopus
membuat laporan Citation Indexes berdasarkan data primer
[dari database mereka], maka Google Scholar memanfaatkan
artikel-artikel yang tersedia bebas di Internet [umumnya dari artikel serupa
yang disimpan dalam website pribadi penulis ataupun repository universitas]
ataupun dari grey literature seperti buku, proceeding,
monograf, website penulis, dan lain sebagainya.
Walau demikian [konon]
ketepatan perhitungan Google Scholar cukup tinggi, terlebih lagi untuk
artikel-artikel yang terbit setelah tahun 2004. Sekarang ini Google Scolar
menyediakan hitungan sitasi (citation count) yang dapat diakses gratis
melalui Internet sehingga siapapun kini dapat menyiapkan laporan citation
count, citation index, ataupun ‘Impact Factor’ tanpa harus
berlangganan ke jasa-jasa komersial seperti Thomson Scientific atau Elsevier’s
Scopus.
Dari http://scholar.google.co.id/intl/id/scholar/about.html, Google Cendekia
menyediakan cara yang mudah untuk mencari literatur akademis secara luas. Anda
dapat mencari di seluruh bidang ilmu dan referensi dari satu tempat: makalah
peer-reviewed, thesis, buku, abstrak, dan artikel, dari penerbit akademis,
komunitas profesional, pusat data pracetak, universitas, dan organisasi
akademis lainnya. Google Cendekia akan membantu Anda mengidentifikasi
penelitian paling relevan dari seluruh penelitian akademis.
Pertama kali kita kenali dulu istilah jurnal yang disitasi (cited journal) dan
jurnal-jurnal yang mensitasi (citing journal) agar dalam pembahasan selanjutnya tidak terjadi
kebingungan.
Sejauh ini,
pembahasan kita mengenai citation count bertumpu pada suatu jurnal yang sedang
kita evaluasi. Jurnal ini (cited journal) mendapatkan citation dari
jurnal-jurnal lain (citing journals). Dikatakan sebelumnya bahwa untuk
perhitungan IF hanya citation yang berasal dari
jurnal-jurnal yang terbit pada tahun yang sama dan satu serta dua tahun sesudah
tahun terbit jurnal yang artikelnya dikutip. Citation count yang
kita peroleh baik dari Google Scholar maupun Scopus dimulai dari suatu artikel
dari jurnal yang disitasi (cited journal).
Untuk perhitungan IF sudut pandangnya justru dari citing
journal, bukan dari cited journal. Disinilah kadang-kadang
terjadi kebingungan. Kita perhatikan pendefinisian IF sebagai
berikut: IF adalah salah satu pendekatan aplikasi bibliometrik
untuk mengukur pengaruh suatu kelompok dokumen (Purnomowati 2008). (4)
Menurut kamus
online Wikipedia, impact factor merupakan suatu ukuran
yang menggambarkan jumlah rata-rata sitiran terhadap artikel yang
diterbitkan dalam jurnal-jurnal sains dan
ilmu sosial. Impact factor dihitung setiap tahun untuk
jurnal-jurnal yang diindeks dalam Journal Citation Reports yang
dimiliki oleh Thomson Reuters. (4)
Impact factor dihitung dengan
membagi jumlah sitiran (citation) dengan jumlah artikel yang dimuat
pada periode waktu tertentu, biasanya dua tahun penerbitan.
Eugene Garfield dalam
artikelnya “The History and Meaning of the Journal Impact Factor”
mengemukakan bahwa IF dapat juga dihitung untuk
periode lebih dari dua tahun. Eugene Garfield bahkan
menghitung impact factor hingga 7-15 tahun (Garfield 2003).
Nilai IF bervariasi bagi setiap jurnal. Beberapa jurnal memiliki IF nol
koma nol sekian dan jurnal yang lain memiliki nilai yang lebih
tinggi.
Pada tahun
2002 Kementerian Riset dan Teknologi melakukan suatu perhitungan
impact factor untuk jurnal-jurnal di Indoesia. Pada tahun yang sama, mereka
menerbitkan Peringkat 10 jurnal bidang pertanian berdasarkan nilai IF yang menunjukkan
bahwa jurnal Zuriat dari Unpad memiliki impact factor paling tinggi yaitu
1,37. (4)
Di Indonesia, IF belum
populer, namun sesungguhnya memiliki banyak keuntungan dan juga
keterbatasan, bahkan kontroversi seperti yang disampaikan oleh Maryono [2008]
dan Purnomowati [2008]) (5)
Impact factor berbeda
dengan sistem akreditasi jurnal ilmiah, yaitu sistem untuk menentukan
peringkat akreditasi jurnal ilmiah nasional berdasarkan kriteria manajemen
pengelolaan dan penampilan, seperti nama berkala, kelembagaan
penerbit, penyunting/dewan redaksi, kemantapan penampilan, gaya
penulisan, substansi, keberkalaan, tiras, dan lain-lain (LIPI 2009).
Kriteria tersebut belum
menunjukkan seberapa jauh suatu jurnal terakreditasi disitir atau
digunakan sebagai sumber informasi, dan seberapa jauh suatu artikel yang
diterbitkan disitir oleh penulis lain sebagai bahan rujukan.
Di pihak lain, seperti yang
disebutkan di atas, DIKTI menetapkan kriteria jurnal internasional
untuk jurnal nasional terakreditasi agar dapat dikategorikan sebagai
jurnal internasional. Salah satu kriteria itu adalah mempertimbangkan IF (Dikti
2007). Hal ini dapat ditafsirkan bahwa IF masih terbatas
sebagai bahan pertimbangan, belum mensyaratkan minimal
nilai IF yang diperoleh suatu jurnal.
Huth (2001) dalam Purnomowati (2008)
menyatakan bahwa IF jurnal sangat membantu kepentingan pustakawan,
penulis, editor/penerbit jurnal, dan penentu kebijakan. Pustakawan yang
akan membeli suatu jurnal akan tertolong dengan adanya daftar
impact factor jurnal tersebut.
Jurnal dengan
nilai IF tinggi akan dipilih karena dianggap unggul di bidangnya dan
banyak diminati pengguna, sehingga akan mudah dipasarkan.
Karena IF mencerminkan pengaruh jurnal di bidangnya maka ilmuwan
akan memilih jurnal dengan nilai IF tinggi untuk memuat
karya tulis ilmiahnya. Keterbatasannya, jumlah sitiran terhadap artikel
jurnal tertentu tidak secara langsung mengukur kualitas jurnal atau
manfaat ilmiah artikel di dalamnya, tetapi semata-mata
mencerminkan kuantitas terbitan dalam bidang tertentu dan
popularitas jurnal dalam topik tertentu. Jurnal dengan peredaran terbatas
sulit memperoleh nilai impact factor tinggi.
Langkah-langkah
Perhitungan IF (5)
Kamus ODLIS
menyebutkan, impact factor adalah bagian dari analisis sitasi, pengukuran
kuantitatif berupa rata-rata jumlah sitasi per artikel, dari suatu jurnal
ilmiah, yang terbit selama tahun tertentu. Pengukuran ini dikembangkan
oleh Institute for Scientific Information (ISI) untuk digunakan dalam
Journal Citation Reports, Suatu penerbitan berseri mencakup berbagai
didiplin ilmu untuk menyusun peringkat, mengevaluasi, dan membandingkan
berbagai jurnal dalam subjek yang sama.
Untuk memudahkan pemahaman, rumusan
sederhana berikut ini mungkin bisa membantu, berdasarkan presentasi resmi
Garfield (1995) :
Jumlah sitasi
dalam setahun (1993) dari artikel dalam sebuah jurnal yang terbit selama
dua tahun sebelumnya (1991 dan 1992) dibagi dengan Jumlah artikel dalam
jurnal tersebut yang terbit selama dua tahun yang sama (1991 dan 1992)
Misalnya, untuk mengukur
angka IF jurnal Media
Informasi, dilakukan penghitungan, jumlah sitasi dalam tahun 2006 dari artikel
tahun 2004 dan 2005 sebanyak 1000, kemudian jumlah artikel selama tahun 2004
dan 2005 sebanyak 60 artikel, maka angka impact factornya sebesar 1000/60 =
16,667. Itu artinya, artikel-artikel jurnal Media informasi dalam kurun waktu
dua tahun terakhir 2004 dan 2005, memiliki pengaruh cukup besar, sebesar 16,667
sitasi per artikel, terhadap penulisan artikel jurnal yang sama yang terbit
dalam tahun berikutnya 2006.
Dari rumusan
tersebut, bisa dipahami bahwa ukuran IF hanya
mengukur pengaruh terhadap artikel jurnal yang sama, dan itupun hanya
untuk kurun waktu dua tahun.
Persoalan ini menjadi sumber
beberapa kontroversi di kemudian hari, akibat adanya semacam “celah” yang
memungkinkan untuk terjadinya konspirasi dalam rangka mendongkrak angka
tersebut.
Sampai disini kiranya keraguan mengenai citation count sehubungan dengan cited
journal dibandingkan
dengan citing journals dan hubungannya dengan perhitungan ‘Impact
Factor’dapat teratasi. Namun kembali ke dasar, justru mendapatkan citation count yang absah
(valid) terhadap cited journal yang justru paling sulit, khususnya apabila
jurnal belum tercakup dalam Scopus (apalagi Thomson Scientific) serta informasi
sitasinya hanya dapat diperoleh lewat Google Scholar.
Disinilah suatu jurnal harus
memanfaatkan sebesar-besarnya fasilitas yang tersedia untuk memperluas
keterpaparan (exposure) jurnalnya ke dunia internasional. Untuk itu
langkah-langkah sistematis harus dilaksanakan untuk suatu jurnal. Tidak ada
jawaban tunggal untuk semua permasalahan, semuanya tergantung pada kondisi
jurnal pada saat ini dan apa yang ingin dicapai pada tahun-tahun kedepan.
Kontroversi tersebut adalah
menerbitakan banyak artikel tinjauan [resensi] atau suatu reviews articles agar
sitasi meningkat [Walter dkk, 2003] Fenomena inilah yang dimaksudkan dalam
standar Kriteria Jurnal Internasional, yaitu dipersyaratkan agar artikel orisinil
lebih dari 80% (> 80%). Jurnal membuat ringkasan tahunan untuk artikel
terkemuka.
Salah satu cara mendongkrak jumlah
sitasi, yaitu dengan membuat ringkasan tahunan, editorial, tinjauan, membahas
artikel yang terkemuka dan menonjol. Meski hanya setahun sekali, cukup lumayan
bisa menambah pengaruh jurnal tersebut, seandainya hanya diukur dari IF.
Editor memesan penulis atau peneliti
untuk banyak mengutip artikel yang diterbitkan (Cameron, 2005). Usaha lain
masih dalam rangka mendongkrak angka sitasi dan IF kong kalingkong dengan
penulis, agar mereka banyak mengutip dari jurnal tersebut, tanpa memperhatikan
kualitas acuan yang disitir tersebut. Dari kasus ini terlihat bahwa,
mengandalkan IF semata, tidaklah memadai. Karena ukuran tersebut bias dimanipulasi.
Jurnal membatasi sitasi dari jurnal
lain, agar IF jurnal lain tersebut jatuh. Dalam rangka pemenangan persaingan,
berbagai usaha ditempuh. Dalam kasus ini, hakekatnya konspirasi juga.
Kongkalingkong dengan para penulis, agar membatasi sitiran mereka terhadap
jurnal lain. Dengan tujuan agar peringkat IF jurnal lain tersebut merosot dan
jatuh.
Interval waktu dua tahun, kurang
representatif [Walter dkk, 2003]. Penghitungan jumlah sitasi pada IF, dilakukan
terhadap artikel terbitan jurnal selama tahun terakhir, terhadap artikel jurnal
yang terbit dua tahun sebelumnya. Kurun waktu dua tahun, dinilai kurang
memadai, pada beberapa kasus. Jurnal baru, tetapi sangat aktif dan sukses di
bidangnya, akan kesulitan untuk segera masuk dalam penghitungan IF di ISI
[Cockerill, 2004].
Diperlukan
waktu setidaknya tiga tahun penuh, bagi jurnal baru untuk bias diperhitungkan
dalam indeks jurnal citation report. Jurnal ilmiah berbahasa Inggris
mendominasi peringkat dalam indeks sitasi, dan penulis peneliti yang berbahasa
inggris cenderung menyitir artikel yang berbahasa Inggris.
Menjadikan
Suatu Jurnal Terindeks
Baiklah kita
buang jauh-jauh yang namanya konspirasi. Mari kita mulai dengan jalan yang
seharusnya. Sebelum adanya Google Scholar untuk menjadikan suatu jurnal
terindeks maka jurnal tersebut perlu didaftarkan pada salah satu jasa
pengindeks sesuai dengan bidang studinya, misalnya CINAHL untuk keperawatan,
PubMed untuk biomedical, CABI untuk pertanian, CAS untuk kimia, dan
lain sebagainya. Dengan menjadikan suatu jurnal terindeks maka artikel-artikel
pada jurnal itu akan mendapatkan identitas unik yang selanjutnya memudahkan
perhitungan sitasinya.
Sekarang ini mendaftarkan ke
jasa pengindeks tetap penting, apalagi untuk jurnal-jurnal biomedical mengingat
sangat luasnya jasa yang diberikan oleh NLM (National Libraruy of Medicine)
dengan PubMed-nya. Namun cara ini kini bukanlah satu-satunya. Alih-alih
menunggu bertahun-tahun agar diikutsertakan dalam suatu jasa pengindeks,
mungkin lebih baik membayar sedikit untuk menjadi anggota CrossRef dan
mendapatkan DOI (Digital Object Identifier) prefix.
Laporan perhitungan sitasi sejauh
ini diantaranya tersedia dari:
· Thomson Scientific (lingkup: science, social
science, art and humanities; laporan sitasi hanya dari
jurnal-jurnal yang diikutsertakan)
· Scopus (lingkup: science;
laporan sitasi hanya dari jurnal-jurnal yang diikutsertakan, tetapi
persyaratannya jauh lebih longgar dibandingkan Thomson Scientific)
·
Citex (lingkup: economics; laporan sitasi hanya dari dari
jurnal-jurnal yang diikutsertakan)
·
Google Scholar (artikel dari jurnal apa saja
asalkan tersedia online)
Dari keempat
jasa laporan sitasi di atas, untuk jurnal-jurnal yang baru tumbuh dan berasal
dari negara-negara yang bukan secara tradisional negara penghasil jurnal
(Inggris, Amerika Serikat dan Belanda), maka Google Scholar adalah pilihan yang
paling masuk akal.
Kesimpulan
Kriteria jurnal
internasional tidak hanya berbahasa Inggris. Masih banyak artikel dalam bahasa
lain yang juga berkualitas. Untuk itu dimungkinkan juga artikel yang berbahasa
Arab, Perancis, Spanyol, dan Cina. Mengingat bahasa-bahasa tersebut, cukup luas
juga digunakan, dan negara-negara tersebut juga cukup maju.
Menurut Seglen
[1997] seperti disitir oleh Cheek [2006], diperkirakan terdapat 126.000 jurnal
ilmiah di seluruh dunia dan berdasarkan data dari Thomson Scientific [scientific.thomson.com/products/jcr]
jumlah jurnal yang diindeks dalam citation index baru sekitar
5.900 jurnal, dan Social Science Citation Index sekitar 1.700 jurnal. –>
data ini pasti sudah berubah banyak.
Tidak
mengherankan jika kemudian terjadi kasus yang menghebohkan, yaitu pemenang
hadiah Nobel Fisika tahun 1979, Abdus Salam. Karya ilmiah Abdus Salam tidak
memperoleh sitasi, karena dia menerbitkan karyanya melalui prosiding di suatu
konferensi. Untungnya, panitia Nobel tidak silau oleh gemerlapnya “jumlah
sitasi”, ataupun IF, tetapi membaca paper ilmiah Abdus Salam secara
langsung.
Jadi angka IF bukanlah
segala-galanya untuk mengukur kualitas jurnal. Terdapat beberapa hal yang masih
perlu dipertimbangkan. Tingginya angka IF, belum dapat diartikan bahwa kualitas
suatu jurnal tersebut lebih tinggi atau lebih baik. Akan tetapi bagaimanapun
suatu jurnal yang terindeks dengan impact factor tinggi merupakan salah satu
gambaran bahwa jurnal tersebut terdiseminasi secara luas sesuai dengan
perkembangan iptek terkini.
Referensi:
(3) http://www.edu2000.org/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=417&Itemid=34